Minggu, 14 Oktober 2012

Adab Berfilsafat


Adab Berfilsafat
Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pengampu: Dr. Marsigit)
Camalina Sugiyarti (12708251078/Psn D)
PPs UNY
2012

Mendengar kata “filsafat” yang ada di benak saya adalah sesuatu yang memerlukan pemikiran tingkat tinggi. Setelahmengikuti  kuliah perdana mata kuliah filsafat ilmu ternyata filsafat sekedar olah pikir. Sehingga dalam berfilsafat ada hal yang harus dikontrol.Objek filsafat adalah sesuatu yang ada atau mungkin ada. Hal yang dianggap sepele pun bisa difilsafatkan, misalkan filsafat semut. Berfilsafat merupakan hal normatif yang memerlukan adab.
Adab pertama dalam berfilsafat adalah “teguhkan hatimu”. Sebelum kita mulai berfilsafat kita harus yakin dengan keyakinan yang ada di dalam hati kita sebelumya, misalnya saya yakin bahwa Tuhan Yang Esa itu benar-benar ada. Ketika kita mulai berfilsafat  mengenai apapun itu, filsafat cinta, filsafat hidup, filsafat fisika, filsafat dunia, dan bahkan filsafat filsafat maka pemikiran atau logika kita mulai bekerja. Sehebat apapun logika, sehebat apaun ilmu yang dimiliki oleh seseorang, seorang yang jenius sekalipun, pemikiran ada batasnya. Jika kita memikirkan sesuatu dan kita tidak dapat memecahkannya dengan logika, maka kembalikan masalah tersebut pada hati. Karena sehebat apapun logika tidak akan pernah bias mengetahui isi relung hati orang lain, bahkan diri kita sendiri.
Kenapa kita harus mengembalikan suatu masalah ke hati? Bukankah akan lebih baik jika terus memikirkan solusinya dengan logika? Nah, disinilah mengapa berfilsafat perlu dikontrol, karena jika lepas kendali itu justru tidak sesuai dengan hakikat filsafat itu sendiri. Posisi berfilsafat atau normatif dapat dilihat dalam bagan seperti berikut ini:


 





              
Materi dan formal merupakan objek filsafat. Formal contohnya adalah undang-undang, pancasila, atau aturan-aturan tertulis lainnya. Sedangkan filsafat memasuki posisi normatif, dimana aturan-aturan tersebut berlaku secara umum namun walaupun tidak tertulis. Seperti bersuci terlebih dahulu sebelum memasuki masjid, tata karma, sopan santun, dan lain sebagainya. Dan yang menduduki posisi paling tinggi adalah spiritual, yaitu hati. Inilah alas n mengapa kita kembalikan suatu permasalahan yang sudah tidak bisa dijangkau oleh pemikiran kita ke hati.
Adab kedua dalam berfilsafat adalah “luruhkan” , luruhkan ego dalam pikiranmu, luruhkan sombong dalam hatimu. Semua yang ada di jagat raya ini tidak ada yang sempurna. Sehebat apaun dirimu, ada saja sesuatu yang tidak bisa engkau ketahui.  Tidak semua masalah dapat dipecahkan dengan rumus fisika atau matematika, dengan  teori-teori yang luar biasa, atau bahkan teknologi mutakhir sekalpun. Disinilah peran besar spiritual.
Sayangnya di era sekarang keberadaan spiritual semakin tertekan dengan adanya modernisasi. Saat ini kita hidup di era ekonomi, politik, dan teknologi yang sedang menguasai dunia. Hampir seluruh umat manusia menentukan tujuan hidupnya pada ketiga hal tersebut, hingga banyak yang mengabaikan spiritual.
Agar kita berfilsafat sesuai dengan hakikat filsafat itu sendiri maka alangkah baiknya jika kita memperhatikan adab-adab dalam berfilsafat, yaitu “teguhkan hatimu” dan “luruhkan egomu”. Dengan berfilsafat kita semakin menghargai spiritual, bukan sebaliknya.

Pertanyaan:
1.      Saat ini merupakan era pendidikan (bukan lagi zaman kebodohan) , tapi mengapa semakin banyak orang yang meninggalkan spiritual?

Para Dewa


Para Dewa
Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pengampu: Dr. Marsigit)
Camalina Sugiyarti
(12708251078/Psn D)
PPs UNY
2012

Segala sesuatu di dunia ini mempunyai dewanya masing-masing. Umat manusia dewanya adalah tuhan, presiden adalah dewa bagi rakyat dan para pegawainya, anggota DPR adalah dewa bagi rakyatnya, para gubernur adalah dewa bagi para bupati, para bupati adalah dewa bagi para camat, para camat adalah dewa bagi para lurah, para suami adalah dewa bagi para istri, bapak dan ibu adalah dewa bagi ank-anaknya, kakak adalah dewa bagi adiknya, guru adalah dewa bagi murid-muridnya, bahkan setiap manusia adalah dewa, dewa bagi apa yang dimilikinya, baju, rumah, dan sebagainya.
Dewa adalah yang “ada” dan yang “mungkin ada”. Dewa adalah subjek bagi objek-objeknya. Dewa mempunyai dimensi yang lebih tinggi daripada objek-objeknya.Sehingga tidak sembarangan orang yang bisa berkomunikasi dengan dewa. Hanya seorang dewalah yang bisa berkomunikasi dengan dewa.
Sehingga objek-objek itupun tidak bisa berkomunikasi dengan dewanya. Objek-objek itupun tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan atau dibicarakan oleh dewanya. Objek tak akan mampu membaca pikiran para subjeknya. Baju yang engkau kenakan tak akan penah bisa mengetahui apa yang kamu pikirkan, sepeda motor yang setiap hari mengantarkanmu kemana pun kamu pergi juga tak akan pernah mampu untuk membaca pikiranmu, kamu pun takkan mampu membaca pikiran ibumu yang sedari kecil disampingmu.
Hal tersebut terjadi karena bahasa para dewa berbeda dengan bahasa orang biasa (objek-objeknya). Hanya orang tertentu yang bisa mengerti bahasa para dewa, selain para dewa itu sendiri. Orang-orang seperti apakah yang mampu mengerti bahasa para dewa? Mereka adalah orang-orang yang mampu merefleksi (memikirkan pengalamannya). Untuk menggapai bahasa para dewa harus mau melakukan olah pikir.
Berfilsafat adalah cara untuk menggapai bahasa para dewa. Jika objek-objek mampu mengerti bahasa para subjeknya. Maka para objek akan mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh para subjeknya/dewanya. Sehingga para dewa tidak akan semena-mena menggunakan kekuasaannya untuk menguasai objeknya.
Pertanyaan:
  1. Setelah bisa mengetahui bahasa para dewa, selanjutnya apa yang bisa dilakukan oleh para objek?
  2. Apakah objek bisa mengalahkan subjek?



Jumat, 05 Oktober 2012

Komunikasi sebagai Obat Determinisme

Komunikasi sebagai Obat Determinisme
Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pengampu: Dr. Marsigit)
Camalina Sugiyarti (12708251078/Psn D)
PPs UNY
2012

Determinisme adalah menjatuhkan sifat ke objek lain sehingga menutupi sikap objek yang ditutupi.Misalnya daun jatuh ke tanah, sifat daun tersebut menutupi sifat tanah yang ada di bawahnya. Determinime ini banyak ditemui dalam kehidupan nyata, misalnya suami mendetermin istrinya, ibu mendetermin si anak, kakak mendetermin adik, atasan mendetermin bawahan, dan yang sering terjai guru mendetermin siswanya. Dan sayangnya mereka tidak menyadari akan hal tersebut.  Determin dalam skala kecil itu merugikan dan determin dalam skala besar itu membunuh. Jika guru mendetermin siswanya artinya dia telah membunuh potensi siswa tersebut.
Guru menyebut siswanya yang tidak mengerjakan tugas pemalas, hal tersebut telah mendetermin siswanya pada ruang dan waktu saat itu dan bisa berpengaruh pada ruang dan waktu yang akan datang. Solusi untuk mengurangi determin adalah “komunikasi”. Harus terjadi komunikasi yang baik antara guru dan siswa, sehingga guru tidak terlalu lama menutupi  sifat siswanya.
Determinisme itu bersifat seimbang, ada yang negatif dan ada yang positif. Contoh diatas merupakan determin negatif sedangkan determin positif misalnya menyatakan siswanya cerdas. Namun harus diketahui bahwa determin itu terikat ruang dan waktu. Pada saat guru mengatakan “kau siswa yang cerdas” determin berlaku positif untuk ruang dan waktu saat itu. Namun untuk ruang dan waktu selanjutnya bisa saja hal itu justru merugikan.

Pertanyaan:
  1. Sekarang banyak bermunculan SD dan SMP yang berbasis agama, seprti SD IT dan SMP IT. Apakah itu pertanda akan semakin baik spiritual di negri ini atau justru sebaliknya?